Selasa, 13 Juni 2017

KESEHATAN GIGI: Begini Nih Caranya Operasi 4 Geraham Bungsu Pakai BPJS

Menjaga kesehatan gigi sama pentingnya dengan menjaga kesehatan tubuh! Pada 2016 lalu, saya harus menjalani operasi gigi geraham bungsu menggunakan kartu BPJS.Pengalaman operasi gigi geraham bungsu memakai BPJS, mudah ataukah sulit? mmmh...silakan menilai sendiri setelah membaca pengalaman saya ini memakai BPJS,
Sakit gigi bukan hanya mengganggu aktivitas keseharian kita, melainkan juga bisa menyebabkan penyakit lainnya salah satunya adalah infeksi jantung atau otak yang bisa menyebabkan kematian. Nah loh. Karena itu kita tidak boleh menyepelekan sakit gigi. Itu pula alasan yang mendasari saya akhirnya memeriksakan sakit gigi yang saya rasakan ke dokter gigi, setelah sebelumnya saya mencoba mengobatinya dengan cara-cara tradisional yaitu berkumur dengan larutan air garam atau obat kumur hingga ke bawang putih. Semuanya itu tidak mempan. Bahkan makin hari terasa semakin sakit, berdenyut-denyut, bikin tidak bisa tidur. Bahkan saya sampai mengonsumsi obat penghilang rasa nyeri hanya agar saya dapat beraktivitas secara normal yaitu bekerja, mengasuh anak dan ngemal! Hehehe.... Namun karena tak kunjung sembuh dan saya takut bakteri di gigi malah menyebar ke organ tubuh saya, akhirnya saya beranikan diri ke dokter gigi.
Pergi ke dokter gigi bagi saya  merupakan hal menakutkan. Bukan takut pada peralatan praktik dokter gigi, melainkan takut biayanya bakal menguras kantong! Terlebih lagi, saya tidak punya asuransi khusus yang mengkaver gigi. Untunglah seorang teman memberitahu saya bahwa saya bisa memeriksakan gigi memakai kartu BPJS kesehatan. Saya pun datang ke faskes 1 dekat rumah saya dengan membawa kartu BPJS. Ternyata benar, gratis tis! Gigi saya diperiksa bu dokter. Komentarnya? Aduuuuh benar-benar bikin saya sakit hati plus malu hati.
"Aduuuh, Mbak, giginya kok rusak parah gini. Pasti sudah lama enggak ke dokter gigi ya?!" tuduh bu dokter begitu melihat kondisi gigi saya.
"Iya, Dok. Sejak menikah saya enggak pernah rutin kontrol ke dokter gigi. Yah kira-kira 3 tahun deh enggak ke dokter gigi," jelas saya menahan malu. Ya malulaaaah... dulu waktu masih lajang, saya paling rajin kontrol ke dokter gigi meski pun hanya membersihkan karang gigi. Sekarang? Waduh.
Bu dokter memberitahu saya ada lima gigi bermasalah. Empat di antaranya adalah menyangkut gigi geraham saya. "Ini yang kanan bawah sepertinya gigi geraham bungsu Anda bermasalah. Itu yang menyebabkan rasa sakit," kata bu dokter.
"Solusinya gimana, Dok?"
"Solusinya kudu dioperasi, Mbak. Sebab kalo enggak dioperasi nanti ya bolak-balik sakit lagi dan itu harus lewat operasi bedah mulut," kata bu dokter.
Bayangan saya waktu itu: operasi hanyalah proses pencabutan gigi di dokter gigi. Saya tak punya bayangan saya bakal berbaring di meja operasi dan dibius total.. Berhubung dokter gigi di faskes pertama tidak bisa menangani keluhan saya, akhirnya saya pun dirujuk ke RS tipe C (sesuai prosedur BPJS). Naaaah... di sinilah perjuangan sebagai pasien BPJS itu dimulai!
Entah karena ekspektasi saya yang berlebihan terhadap pelayanan BPJS atau memang sudah nasib pasien BPJS dilempar ke sana kemari, saya enggak tahu, yang jelas ketika saya datang ke RS tipe C saya ditolak mentah-mentah. Mereka bilang tidak bisa menangani masalah saya. Kok bisa? Padahal jelas-jelas saya lihat di papan nama RS yang berisi nama dokter RS tersebut, di situ jelas terpampang RS tersebut punya dokter spesialis bedah mulut. Saya ngeyel, saya bilang,"Itu di papan nama dokter-dokter, saya lihat ada dokter spesialis bedah mulut. Berarti RS punya dong dokter spesialis bedah mulut dan bisa menangani keluhan saya!"
Namun saya harus mati kutu ketika pihak RS mengatakan,"Yah mau gimana lagi, dokternya tidak mau menangani pasien BPJS!" Sejujurnya, saya tidak paham betul aturan tentang BPJS, saya tidak paham hukum boleh enggaknya dokter menolak pasien BPJS, jadi ketika mendapat jawaban itu ya sudahlah saya pilih menyerah dan pasrah dirujuk ke RS tipe B. Apakah perjuangan saya berakhir mulus? Tidak. Di RS tipe B (sama seperti ketika di RS tipe C) saya harus datang pagi-pagi beneeeer supaya dapat jatah (karena rumah sakit tersebut membatasi jumlah pasien BPJS hanya 10 orang per hari. Bayangkan!). Perjuangan saya tidak sia-sia, saya berhasil bertemu dokternya, diperiksa lalu....nah di sinilah saya kembali terbengong-bengong. Pak dokter menyuruh saya mencari kamar terlebih dahulu, saya disuruh tanya ke bagian UGD ada enggak kamar kosong. Jujur, waktu itu saya belum paham prosedur operasi gigi geraham bungsu. Saya sempat ngeyel lagi, saya bilang kenapa saya harus nyari kamar untuk rawat inap? Kan tinggal nyabut gigi doang, pakai bius lokal, mengapa harus rawat inap segala?
Apa kata pak dokter? "Mbak, Mbak nanti dibius total. Karena itu butuh kamar untuk rawat inap. Tapi jangan khawatir, paling nginep sehari lalu boleh pulang kok!"
Hah? Saya cuma terbelalak setengah tak percaya. Tapi ya sudahlah. Dokter punya kuasa. Saya pun ke UGD untuk tanya kamar kosong. Ini benar-benar lucu menurut saya. Kok harus pasien sih yang disuruh nyari kamar sendiri? Di UGD saya dapat kejutan kedua. Petugas UGD bilang semua kamar penuh. Bahkan ketika saya ngotot ya sudah saya naik kelas, mereka tetap bilang penuh. Petugas lalu mejelaskan, kalau saya nyari kamar sesuai jatah saya di BPJS yaitu kelas 1 jumlah antriannya mencapai 42 orang (gubrak), sementara kalau saya naik ke kelas utama/VIP jumlah antriannya mencapai 21 orang (gubrak lagi). Lagi, saya merasa weird. Ini orang sakit kok disuruh nunggu. Orang-orang ini apa enggak pernah sakit gigi apa ya? Saya pun protes kenapa operasi kok disuruh nunggu seperti itu sih, entar penyakitnya keburu parah dan menyebar kemana-mana. Lalu, mbak si penjaga UGD menjelaskan memang seperti itu prosedurnya, pihak RS membagi pasian menjadi dua yaitu gawat darurat dan bukan gawat darurat. Yang gawat darurat misal kecelakaan lalu lintas yang mengharuskan operasi, so pasti jadi prioritas operasi. Sedangkan pasiean bukan gawat darurat (seperti saya yang sakitnya masih bisa ditahan) operasinya harus nunggu giliran. Hadhew, mati saya! Batin saya. Gigi sudah sakit kagak karuan gini eeeh masih disuruh nunggu giliran yang entah kapan datangnya.
Sambil menunggu giliran tanpa kepastian kapan operasi saya akan dilaksanakan, saya pun mencoba alternatif lain. Saya datangi sejumlah klinik praktik dokter spesialis bedah mulut hingga dokter spesialis rekonstruksi gigi. Harapan saya penyakit saya bisa segera tertangani. Namun, besarnya biaya yang mereka ajukan membuat saya mundur teratur....hehehe.... Teman saya yang punya pengalaman operasi gigi geraham bungsu memakai BPJS Kesehatan juga memberi nasihat,"Eman-eman kalo kamu harus bayar sendiri. Wong toh kamu sudah jadi anggota BPJS Kesehatan, sudah manfaatin aja BPJS KEsehatanmu. Wong operasi gigi geraham bungsu itu ditanggung penuh kok oleh BPJS Kesehatan!"
Begitulah. Saya pun menyerah, memilih memanfaatkan BPJS Kesehatan saya. Namun saya masih saja menyimpan dongkol. Gigi saya terasa sakit eeeh kok saya masih disuruh menunggu giliran. Saking dongkolnya saya pun nulis surat pembaca dan diterbitkan oleh media cetak nasional. Rupanya keluhan saya terbaca jajaran BPJS di Jakarta. Saya pun ditelepon pihak BPJS dan diajak makan siang untuk dipertemukan dengan pihak RS tipe B tersebut. Aduh kok jadi berpanjang-panjang gini urusannya? Saya pun menyanggupi bertemu. Dalam pertemuan itu saya dapat penjelasan panjang lebar kali tinggi...aduh, enggak usah saya tulis deh. Pokoknya hasil akhirnya saya dapat prioritas menjalani operasi gigi geraham bungsu di RS. Padahal sumpaaah! Maksud saya nulis surat pembaca bukan itu, saya enggak butuh prioritas. Saya hanya ingin perbaikan pelayanan untuk pelayanan BPJS. Itu saja keinginan saya.

Singkat cerita, akhirnya saya mendapat fasilitas jalan tol, saya tidak perlu menunggu antrian (aduuuh...saya benar-benar enggak enak hati, tapi mau bagaimana lagi?). Pada hari yang ditentukan, yaitu Sabtu, saya pun datang ke RS. Oya, saya disuruh puasa 12 jam terlebih dahulu. Gigi saya diperiksa dan dirontgen. Dari situ dokter yang menangani gigi saya jadi tahu gigi mana saja yang bermasalah. Ternyata ada 4 gigi yang kudu diambil! Duh! Sebetulnya merasa sayang juga, usia saya belum lanjut usia tapi kok sudah kehilangan 4 gigi! Ya sudahlah. PUkul 16.00 WIB, saya masuk IGD, diinfus (entah apa isi infus tersebut). Lalu dokter datang memeriksa kondisi saya dan menyatakan saya layak menjalani operasi. Operasi dilaksanakan pukul 19.00 WIB. Jadi saya lumayan lama menunggu di IGD. Begitu tiba saatnya, saya pun dibawa ke ruang operasi. Sendiri. Suami menunggu di luar. Saya sempat ngeper membayangkan dibius total. Pengalaman pertama saya
dengan bius sungguh tak mengenakan: 3 tahun lalu saat melahirkan anak saya lewat operasi caesar, saya pernah dibius lokal. Efeknya setelah operasi selesai, saya mengalami tremor, saya merasa tubuh saya dingiiiin bangeeeet. Kata perawat itu efek obat bius. Duh! Saya takut pengalaman buruk itu terulang, makanya saya terus berdoa semoga dikasih kelancaran. Dokter anestesi pun datang dan memberi tahu prosedur operasi dan prosedur bius. Setelah itu saya disuntik. Tidak sampai 5 menit, tahu-tahu saya sudah hilang kesadaran. Tahu-tahu saya tersadar sudah di dalam kamar. Sakit? Enggak. Semalaman itu saya tidur pules banget mungkin karena masih ada sisa-sisa efek obat bius di tubuh saya. Keesokan harinya saya bangun dan mendapat sarapan bubur (seperti terlihat di foto atas).
Pukul 09.00 WIB, dokter visit mengecek kondisi saya dan menyatakan saya boleh pulang. Sepekan lagi disuruh kontrol. Begitulah. siangnya, setelah urusan administrasi beres, saya pun pulang. Biayanya? Nol rupiah karena semua sudah ditanggung BPJS Kesehatan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar